Suku Batak Gayo
orang Gayo |
Orang Gayo secara fisik, bahasa dan budaya tidak sama dengan masyarakat suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Nanggroe Aceh, melainkan justru berkerabat dengan masyarakat etnik Batak dari provinsi Sumatra Utara, seperti suku Batak Karo, Batak Pakpak dan beberapa etnik yang masih dalam ras Batak yang juga berada di provinsi Nanggroe Aceh, seperti suku Alas, Singkil dan Kluet. Orang Gayo menyebut wilayah adat mereka sebagai Tanoh Gayo.
kuburan orang Gayo pra Islam |
Pada umumnya masyarakat suku Gayo mayoritas adalah beragama Islam. Agama Islam berkembang sejak beberapa abad yang lalu di kalangan masyarakat suku Gayo. Menurut orang Gayo agama Islam lebih dahulu berkembang di Tanah Gayo dari pada di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Beberapa adat istiadat dan tradisi Gayo mendapat pengaruh dari budaya Islam. Terlihat budaya dan tradisi Islam sangat menonjol dalam setiap kegiatan dan acara pada masyarakat suku Gayo.
Orang Gayo memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Gayo yang digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di antara kalangan mereka, selain itu orang Gayo juga biasanya bisa berbicara dalam bahasa Aceh yang menjadi bahasa mayoritas di provinsi Nanggroe Aceh.
Para peneliti sempat mengelompokkan suku Gayo dalam kelompok Rumpun Batak, walau orang Gayo nya sendiri mungkin tidak merasa sebagai orang Batak. Ditinjau dari kekerabatan bahasa, struktur fisik, perilaku, kebiasaan hidup, tradisi, budaya, marga dan sejarah masa lalu, (dan mungkin kesamaan gen, hanya belum dilakukan penelitian), memiliki kekerabatan yang kuat dengan kelompok etnik batak lainnya. Kerabat terdekat suku Gayo adalah suku Alas, Singkil dan Kluet.
Suku Gayo sendiri terdiri dari beberapa puak, yang menggunakan bahasa, adat istiadat dan tradisi yang sama, dan hanya dibedakan dari dialek, yaitu:
- Gayo Lut (sekitar danau Laut Tawar)
- Gayo Deret
- Gayo Lues (Luwes)
- Gayo Serbejadi (Lukup)
- Gayo Kalul
dan - Gayo Bebesen (Batak 27)
Di Tanoh Gayo sekitar abad 11 Masehi berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Linge (Lingga) yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. (dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda).
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke Tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan Kesultanan Syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Masyarakat Gayo hidup dalam komunitas kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
- Reje
- Petue
- Imem
- Rayat
Saat ini beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan yang terdiri atas:
- gecik
- wakil gecik
- imem
- cerdik pandai yang mewakili rakyat.
rumah tradisional Gayo |
rumah adat Gayo |
Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah Rumah Panjang, sehingga disebut Sara Umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang telah banyak mengalami perobahan kebiasaan, sehingga banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri.
Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, adalah:
Tari Guel (tanohaceh.com) |
tari Saman (nakarasido.com) |
- Tari Saman
- Didong (seni bertutur)
- Tari Bines
- Tari Guel
- Tari Munalu
- Sebuku (Pepongoten)
- Guru Gidong
- Nelengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
Makanan khas Gayo adalah
- Masam Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut Bekuah
- Cecah
- Pengat
Masyarakat suku Gayo pada umumnya hidup pada bidang pertanian, terutama pada tanaman padi sawah dan tanaman kopi. Selain itu mereka juga menanam berbagai jenis sayuran, memelihara hewan ternak serta memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
referensi:
> http://protomalayans.blogspot.com/2011/08/suku-gayo.html
> http://tanohaceh.com
> http://nakarasido.com
info tambahan:
> marga Gayo
> kamus bahasa Gayo
0 Response to "Suku Batak Gayo"
Post a Comment