Suku Lubu
Suku Lubu, merupakan suku asli yang hidup di daerah pebatasan Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Suku Lubu terutama mendiami daerah pegunungan dari berbagai wilayah tanah Batak selatan. Populasi suku Lubu saat ini diperkirakan lebih dari 45.000 orang.
Pada masa dahulu, suku Lubu hidup secara nomaden menjelajah di pedalaman hutan Sumatra. Saat ini, masyarakat suku Lubu secara budaya, tradisi dan kebiasan hidup telah berasimilasi dengan suku Batak yang hidup di sekitar pemukiman-pemukiman suku Lubu.
Suku Lubu telah mendiami wilayah ini ribuan tahun sebelum hadirnya orang-orang Batak di wilayah ini. Secara ras, suku Lubu ini pada termasuk ke dalam ras Weddoid, memiliki kulit agak gelap, rambut keriting dan bertubuh kekar, yang berbeda dengan etnis batak yang memiliki ras mongoloid. Tetapi setelah ribuan tahun terjadi pembauran dengan suku batak setempat dan kemungkinan juga dengan suku melayu. Walaupun begitu mereka tetap mengakui diri mereka sebagai suku Lubu, tetapi budaya dan adat-istiadat mereka banyak menyerap budaya dan adat-istiadat suku Batak. Diperkirakan suku Lubu ini masih berkerabat dengan suku Kubu, karena secara fisik antara suku Lubu dan suku Kubu tidak jauh berbeda.
Bahasa yang digunakan suku Lubu adalah bahasa Lubu. Bahasa Lubu ini banyak menyerap perbendaharaan kata bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas, oleh karena itu bahasa Lubu ini kadang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Batak Mandailing. Walaupun bersumber dari bahasa yang berbeda, tetapi setelah mengalami proses selama berabad-abad, antara bahasa Lubu dan bahasa Mandailing, terjadi pembauran, sehingga bahasa Lubu yang sekarang hampir mendekati dan mirip dengan bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas.
Suku Lubu ini kadang disamakan dengan suku Siladang. Menurut beberapa tulisan, mengatakan bahwa Suku Lubu masih terdapat ikatan kekerabatan masa lalu dengan suku Siladang. Tetapi menurut orang Siladang mereka berbeda dengan orang Lubu.
Sampai awal abad 19, suku Lubu masih berkeliaran di pegunungan dalam keadaan liar, yang hidup terutama di rumah-rumah pohon. Mereka menembak dengan senjata pemukul dan panah beracun. Pakaian mereka sederhana, mereka makan semua jenis daging, dan mereka dimasak dalam bambu berongga.
Kehidupan orang Lubu telah mengalami kemajuan besar. Suku Lubu masih hidup dengan gaya hidup dasar mereka. Seperti orang Kubu di Jambi dan Sumatra Selatan, mereka agak takut air dan jarang mencuci, meskipun kebanyakan pemukiman mereka berdekatan dengan sungai. Pada masa dahulu, masyarakat Batak di sekeliling mereka sering mencurigai mereka banyak ambil bagian dalam jenis sihir.
Saat ini seiring dengan kemajuan zaman, orang Lubu tidak lagi hidup di atas pohon. Mereka sekarang tinggal di gubuk yang dibangun di atas tanah. Sekelompok rumah membentuk sebuah bandja (desa), dan sejumlah desa membentuk sebuah kuria (distrik). Kepala dari bandja disebut na bodjo bodjo. Semua anggota laki-laki yang lebih tua dari masyarakat (kepala keluarga) memiliki suara dalam pemerintahan desa. Ketika sang kepala meninggal, ia digantikan oleh putranya.
Di setiap desa Lubu ada rumah-rumah komunal khusus (tawatak) untuk anak laki-laki dan lain-lain untuk anak perempuan. Setelah usia 12 tahun, kedua jenis kelamin diharapkan untuk tidur di rumah-rumah komunal. Pernikahan biasanya terjadi ketika anak-anak berbalik lima belas. Sebuah mahar kecil diperlukan, tetapi orang Lubu kebanyakan tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Akibatnya, sebagian besar dari mereka harus bekerja selama 2 tahun untuk masa depan orang tua mertua mereka selama masa pertunangan.
Kesenian suku Lubu, seperti alat musik dan lagu-lagu, banyak mengadopsi dari budaya dan tradisi suku Batak. Orang Lubu sering menulis lagu tentang budaya mereka, dan ini dinyanyikan di sekitar api di malam hari. Hal lain yang menarik, adalah suku Lubu tidak memiliki tarian.
Secara tradisional, walaupun suku Lubu sebenarnya memiliki ras yang berbeda dengan suku Batak yang hidup sekitar pemukiman suku Lubu, tapi secara adat, suku Lubu telah menjadi bagian dari rumpun Batak. Karena secara sejarah, suku Lubu memiliki sejarah panjang hidup bersama-sama bahu membahu dengan komunitas Batak. Sehingga antara suku Lubu dan suku Batak bagaikan saudara angkat yang hidup berdampingan dalam satu wilayah.
Masyarakat suku Lubu secara mayoritas masih memeluk agama tradisional mereka. Mereka meyakini akan adanya roh baik dan roh jahat yang sangat dihormati, terutama semangat kepala suku pertama, Singa Tandang. Berbagai penyakit adalah merupakan pekerjaan roh-roh jahat, terutama hantu yang bisa mempengaruhi dari luar maupun dalam diri seseorang. Banyak ritual tradisional dilakukan pada saat kelahiran dan pubertas. Salah satu tradisi adat mereka adalah menghitamkan gigi anak perempuan mereka sebelum menikah. Hal ini ditemukan dalam tradisi masyarakat suku Batak Kluet.
Orang Lubu bertahan hidup dengan menanam padi sebagai tanaman pokok mereka. Namun, secara keseluruhan, mereka tampaknya tidak pilih-pilih dalam memilih makanan. Mereka akan menyantap apa saja, seperti tikus, kelelawar, monyet dan lain-lain yang dibunuh dengan senjata tradisional suku Lubu.
sumber:
- prayway
- protomalayans
seorang anak Lubu (prayway,com) |
Suku Lubu telah mendiami wilayah ini ribuan tahun sebelum hadirnya orang-orang Batak di wilayah ini. Secara ras, suku Lubu ini pada termasuk ke dalam ras Weddoid, memiliki kulit agak gelap, rambut keriting dan bertubuh kekar, yang berbeda dengan etnis batak yang memiliki ras mongoloid. Tetapi setelah ribuan tahun terjadi pembauran dengan suku batak setempat dan kemungkinan juga dengan suku melayu. Walaupun begitu mereka tetap mengakui diri mereka sebagai suku Lubu, tetapi budaya dan adat-istiadat mereka banyak menyerap budaya dan adat-istiadat suku Batak. Diperkirakan suku Lubu ini masih berkerabat dengan suku Kubu, karena secara fisik antara suku Lubu dan suku Kubu tidak jauh berbeda.
Bahasa yang digunakan suku Lubu adalah bahasa Lubu. Bahasa Lubu ini banyak menyerap perbendaharaan kata bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas, oleh karena itu bahasa Lubu ini kadang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Batak Mandailing. Walaupun bersumber dari bahasa yang berbeda, tetapi setelah mengalami proses selama berabad-abad, antara bahasa Lubu dan bahasa Mandailing, terjadi pembauran, sehingga bahasa Lubu yang sekarang hampir mendekati dan mirip dengan bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas.
Suku Lubu ini kadang disamakan dengan suku Siladang. Menurut beberapa tulisan, mengatakan bahwa Suku Lubu masih terdapat ikatan kekerabatan masa lalu dengan suku Siladang. Tetapi menurut orang Siladang mereka berbeda dengan orang Lubu.
Sampai awal abad 19, suku Lubu masih berkeliaran di pegunungan dalam keadaan liar, yang hidup terutama di rumah-rumah pohon. Mereka menembak dengan senjata pemukul dan panah beracun. Pakaian mereka sederhana, mereka makan semua jenis daging, dan mereka dimasak dalam bambu berongga.
Kehidupan orang Lubu telah mengalami kemajuan besar. Suku Lubu masih hidup dengan gaya hidup dasar mereka. Seperti orang Kubu di Jambi dan Sumatra Selatan, mereka agak takut air dan jarang mencuci, meskipun kebanyakan pemukiman mereka berdekatan dengan sungai. Pada masa dahulu, masyarakat Batak di sekeliling mereka sering mencurigai mereka banyak ambil bagian dalam jenis sihir.
Saat ini seiring dengan kemajuan zaman, orang Lubu tidak lagi hidup di atas pohon. Mereka sekarang tinggal di gubuk yang dibangun di atas tanah. Sekelompok rumah membentuk sebuah bandja (desa), dan sejumlah desa membentuk sebuah kuria (distrik). Kepala dari bandja disebut na bodjo bodjo. Semua anggota laki-laki yang lebih tua dari masyarakat (kepala keluarga) memiliki suara dalam pemerintahan desa. Ketika sang kepala meninggal, ia digantikan oleh putranya.
Di setiap desa Lubu ada rumah-rumah komunal khusus (tawatak) untuk anak laki-laki dan lain-lain untuk anak perempuan. Setelah usia 12 tahun, kedua jenis kelamin diharapkan untuk tidur di rumah-rumah komunal. Pernikahan biasanya terjadi ketika anak-anak berbalik lima belas. Sebuah mahar kecil diperlukan, tetapi orang Lubu kebanyakan tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Akibatnya, sebagian besar dari mereka harus bekerja selama 2 tahun untuk masa depan orang tua mertua mereka selama masa pertunangan.
Kesenian suku Lubu, seperti alat musik dan lagu-lagu, banyak mengadopsi dari budaya dan tradisi suku Batak. Orang Lubu sering menulis lagu tentang budaya mereka, dan ini dinyanyikan di sekitar api di malam hari. Hal lain yang menarik, adalah suku Lubu tidak memiliki tarian.
Secara tradisional, walaupun suku Lubu sebenarnya memiliki ras yang berbeda dengan suku Batak yang hidup sekitar pemukiman suku Lubu, tapi secara adat, suku Lubu telah menjadi bagian dari rumpun Batak. Karena secara sejarah, suku Lubu memiliki sejarah panjang hidup bersama-sama bahu membahu dengan komunitas Batak. Sehingga antara suku Lubu dan suku Batak bagaikan saudara angkat yang hidup berdampingan dalam satu wilayah.
Masyarakat suku Lubu secara mayoritas masih memeluk agama tradisional mereka. Mereka meyakini akan adanya roh baik dan roh jahat yang sangat dihormati, terutama semangat kepala suku pertama, Singa Tandang. Berbagai penyakit adalah merupakan pekerjaan roh-roh jahat, terutama hantu yang bisa mempengaruhi dari luar maupun dalam diri seseorang. Banyak ritual tradisional dilakukan pada saat kelahiran dan pubertas. Salah satu tradisi adat mereka adalah menghitamkan gigi anak perempuan mereka sebelum menikah. Hal ini ditemukan dalam tradisi masyarakat suku Batak Kluet.
Orang Lubu bertahan hidup dengan menanam padi sebagai tanaman pokok mereka. Namun, secara keseluruhan, mereka tampaknya tidak pilih-pilih dalam memilih makanan. Mereka akan menyantap apa saja, seperti tikus, kelelawar, monyet dan lain-lain yang dibunuh dengan senjata tradisional suku Lubu.
sumber:
- prayway
- protomalayans
0 Response to "Suku Lubu"
Post a Comment