Benarkah Grand Shaikh Al-Azhar Merestui ‘Kudeta Militer’?
Alumnus Universitas Al-Azhar-Kairo
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca sebuah tulisan lepas di situs fimadani.com. Tulisan bertajuk “Syaikh Al-Azhar dan Kudeta Mesir” itu mencoba menganalisa pilihan Syaikh Ahmad Thayyib selaku Grand Shaikh Azhar dalam persoalan politik di Mesir. Ada beberapa tanggapan yang ingin saya utarakan, agar kita tidak sembarangan dalam menghukum pilihan tersebut, apalagi sampai menghukum dan menghina personal beliau yang merupakan Imam bagi sebuah lembaga besar umat Islam di Dunia, Al-Azhar Asy-Syarif.
Kedua, di dalam tulisan tersebut disebutkan “Sikap yang diambil oleh Syaikh Al Azhar DR. Ahmad Ath Thayib, yang sejalan dengan rencana kaum sekuler Mesir, dan antek-antek mantan presiden terguling Husni Mubarak, untuk mengudeta presiden yang sah DR. Muhammad Mursi…..”
Penulis membuka dengan prolog yang tendensius, seolah-olah Syaikh Ahmad Thayyib berkomplot dengan rencana ‘Kaum Sekuler Mesir dan Antek Mantan Presiden Mesir Husni Mubarak’. Padahal, yang harus diketahui bahwa sikap tersebut diambil oleh Syaikh Ahmad Thayyib pada tanggal 3 Juli saat militer menginisiasi rekonsiliasi Nasional dengan mengundang beberapa tokoh penting negara di mana salah satunya adalah Grand Shaikh Azhar. Rekonsiliasi ini mestinya dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya oleh Presiden Mursi untuk mengatasi konflik yang sudah mengarah kepada bentrok fisik. Rekonsiliasi ini sendiri awalnya merupakan ultimatum militer untuk Pemerintah pada tanggal 1 Juni agar pemerintah segera menyelesaikan dan mencari solusi atas konflik tersebut.
Nah, di sini kita harus menyamakan persepsi tentang apakah yang dimaksud dengan kudeta militer? Apakah kudeta militer itu terjadi saat presiden dinon-aktifkan oleh militer atau saat kekuasaan presiden diambil alih dengan campur tangan militer? Atau sama sekali tidak terjadi Kudeta Militer melainkan yang terjadi adalah hasil pertemuan antara pihak-pihak yang menginginkan Mesir segera keluar dari konflik? Hal ini saja masih jadi perdebatan yang patut dibaca dengan jeli.
Kalau kudeta militer itu adalah apa yang terjadi pada tanggal 1 Juli di mana saat itu militer mengultimatum Presiden agar segera menyelesaikan konflik, maka Sikap Syaikh Azhar pada tanggal 3 Juli tidak bisa mutlak dianggap sebagai bagian dari plot kudeta militer. Kenapa? Karena kudeta militer sendiri sudah terjadi. Sedangkan Syaikh Azhar sendiri hanya datang memenuhi undangan untuk mencari solusi atas konflik.
Kalau kudeta militer itu adalah yang terjadi pada tanggal 3 Juli, maka tetap saja kedatangan Syaikh Azhar pada proses rekonsiliasi nasional tersebut tidak sama sekali menunjukkan bahwa Syaikh Azhar adalah bagian dari mereka yang diklaim “sekuler dan berencana menurunkan Presiden Mursi”. Mengapa ? Karena Syaikh Azhar dalam pernyataan beliau lebih memilih untuk “segera dilaksanakan pemilu ulang secepatnya” dengan tujuan menghentikan mudharat yang lebih besar yakni benih perang saudara antara dua kubu yang sudah panas waktu itu.
Jadi, tidak benar bahwa Syaikh Azhar menjadi bagian dari mereka yang ingin mengudeta Presiden Morsi. Kedatangan beliau adalah untuk memberikan solusi efektif secepat mungkin saat itu dan untuk mengantisipasi kemudharatan yang lebih besar yakni bentrok fisik dan pertumpahan darah antara sesama warga Mesir.
Ketiga, penulis menyinggung salah satu latar belakang beliau yakni “…Berlatar Belakang Sufi…”. Ini hal yang lucu ketika dikait-kaitkan dengan sikap Beliau. Entah apa alasan penulis memasukkan hal ini menjadi bagian “analisa yang mungkin diutarakan ke publik mengenai sebab mengapa Syaikh Al Azhar mendukung rencana kudeta militer terhadap presiden Mursi…”. Sub tema tersebut oleh penulis lalu dielaborasikan ke dalam rangkaian tulisan yang tidak ada hubungannya dengan sub tema. Dari 4 paragraf yang merupakan pengembangan sub tema tersebut, hanya paragraf pertama yang sinkron dengan judul sub tema. 3 paragraf lainnya justru mencoba menjelaskan latar belakang Syaikh Ahmad Thayyib, dan sayangnya itu pun banyak memiliki kesalahan (lucu karena penulis kuliah di Al-Azhar tapi tidak tahu biografi Syaikhnya).
Perhatikan tulisan penulis berikut : “…setelah mendalami bahasa Perancis-nya di kantor Peradaban Perancis di Kairo. Beliau melanjutkan pendidikan S-3 nya ke Paris, di Sorbonne Universiti Perancis Tidak tertutup kemungkinan faktor lingkungan Barat, dan pindidikan beliau selama di Perancis, sedikit banyak memberi pengaruh di dalam diri beliau akan tidak perlu dikait-kaitkannya politik dengan Islam, yang identik dengan cinta dan kedamaian. Dan presiden Mursi di sokong oleh partai-partai Islam…”. Yang benar, Syaikh Ahmad Thayyib itu lulus S-3 nya dari Universitas Al-Azhar jurusan akidah filsafat. Adapun perjalanan Ilmiah beliau ke Sorbonne, itu murni bagian dari pendidikan dan riset ilmiah –yang juga merupakan tradisi Al-Azhar dari dulunya mengirim beberapa kadernya kesana untuk meneliti serta mendakwahkan Islam- sehingga tuduhan bahwa beliau kemudian berpikiran “tidak perlu dikait-kaitkannya politik dengan Islam.” Itu sudah mentah dengan sendirinya. Yang lebih berbahaya, sadar atau tidak, penulis sedang menjebak para pembaca untuk menuduh dan menghukumi Syaikh Ahmad Thayyib itu seorang yang sekuler (paham yang memisahkan negara dan politik dari Islam), Na’udzbillah min hadzal qaul.
Keempat, penulis mengungkap keterkaitan Syaikh Ahmad Thayyib dengan Partai Hizbul Wathan “Selain jabatan itu, beliau juga merupakan anggota partai Hizbul Wathani, yang diketuai oleh mantan presiden Husni Mubarak. Bidang yang diamanahkan pada beliau oleh partai itu adalah sebagai anggota Bidang Amanat Perpolitikan partai…”.
Untuk menjawab hal ini, perlu diketahui bahwa pada zaman rezim Husni Mubarak, di mana waktu itu Grand Shaikh Azhar –Alm. Syaikh Thanthawi- meminta langsung kepada Presiden agar Rektor Universitas Al-Azhar dijadikan bagian dari Maktab As-Siyasi partai penguasa (Hizbul Wathan) dengan tujuan agar Universitas Al-Azhar dapat berperan lebih aktif dalam membangun negeri. Dalam sistem Hizbul Wathan sendiri ada yang namanya Maktab As-Siyasi dan Lajnah As-Siyasiyah. Lajnah As-Siyasiyah ini yang lebih kita kenal sebagai dewan pengurus harian partai di mana mereka bertanggung jawab langsung untuk mengurus sistem perpolitikan mereka. Adapun Maktab As-Siyasi adalah orang-orang yang dianggap berperan penting di Negara Mesir serta memiliki aktifitas untuk memajukan Mesir (bukan memajukan Partai).
Permintaan ini sendiri ditolak pada zaman rektor Prof. Dr. Abdul Fattah Syaikh. Walau begitu, Al-Azhar selalu mengusahakan hal tersebut di mana pada akhir masa kepemimpinan rektor Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, permintaan itu akhirnya dikabulkan. Adapun implementasinya adalah pada masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Ahmad Thayyib. Jadi, sebenarnya kedekatan Syaikh Ahmad Thayyib dengan partai Hizbul Wathan bukan lantaran personal beliau yang orang politik, namun karena jabatan beliau sebagai Rektor Universitas Al-Azhar.
Yang lebih tragis, penulis juga mengatakan “…Karir tertinggi beliau sebagai Syaikh Al Azhar, diperoleh setelah meninggal Syaikh Al Azhar Muhammad Sayyid Thanthawi. Dan posisi yang sejajar dengan Perdana Menteri ini, diserahkan langsung oleh mantan presiden Husni Mubarak pada tanggal 19 maret 2010…” seolah-oleh melegitimasi tuduhan penulis bahwa Syaikh Ahmad Thayyib itu adalah orang yang benar-benar ‘Antek Husni Mubarak’. Padahal, faktanya adalah para Ulama Azhar memilih beberapa kandidat untuk diangkat menjadi Grand Shaikh Al-Azhar di mana beliau menjadi salah satu kandidat selain Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim dan Prof. Dr. Ali Jum’ah. Pada akhirnya beliaulah yang terpilih.
Jadi tidak benar berbagai analisa yang berkembang bahwa Grand Shaikh Azhar, Ahmad Thayyib telah berkomplot dengan Militer untuk mengudeta Presiden Mursi (itupun kalau kita sepakat bahwa yang terjadi memang kudeta militer). Yang benar adalah sebagaimana yang beliau utarakan bahwa beliau memilih pendapat tersebut berdasarkan logika Ulama beliau untuk mengambil hal yang paling ringan dari dua mudharat (Akhaf Adh-Dharain). Bukanlah hal yang bijak untuk menghukumi beliau dengan hal-hal yang negatif seperti Ulama Sulthan, pengkhianat dan macam-macam perkataan keji lainnya. Apalagi status beliau masih muslim dan beliau sudah mengakui sebab kenapa beliau memilih pilihan tersebut. Maka, berbaik sangka pada seorang muslim adalah kewajiban kita bersama, dan berkata yang baik adalah Akhlak yang tidak boleh kita tinggalkan.
Dan jangan pula sampai muncul kalimat bahwa beliau meridoi tumpah darah yang terjadi, karena kalau kita mau jujur dan adil, beliau sendiri sangat membenci tumpah darah, penghinaan terhadap kemuliaan rumah ibadah serta pertengkaran antara sesama muslim. Beliau sudah berbuat sesuai ilmu dan kapabelitas, hanya saja beberapa dari kita begitu mudah terpengaruh media sehingga berburuk sangka pada beliau. Syaikh Ahmad Thayyib pastinya tidak sembrono dan gerasak-gerusuk dalam mengambil keputusan. Beliau paham betul mana langkah politik dan mana langkah non politik meski keduanya disampaikan secara diplomatik.
Terlepas dari apa yang terjadi saat ini, mari kita sama-sama memperbanyak doa, terutama di bulan yang agung ini. Semoga Allah mengabulkan doa kita, demi kebaikan Mesir dan Islam. Mari membuka mata dan nurani. Merapat dan memilih ulama yang Rabbani agar selamat di kemudian hari. Masyarakat yang cerdas bukanlah mereka yang takut berbeda tapi mereka yang menyikapi perbedaan dengan ‘bijaksini’ dan bijaksana. Tanpa melontarkan kata-kata yang nista. Tetap menghormati semua guru sebagai orang tua. Agar mendapat ilmu dan berkah yang selama ini dicita. Amin.
Sumber: mosleminfo
0 Response to "Benarkah Grand Shaikh Al-Azhar Merestui ‘Kudeta Militer’?"
Post a Comment