Kenapa Sahabat Tidak Meributkan Ayat-Ayat Mutasyabihat?
Banyak yang tergelincir ketika membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena apa? Karena memang ayat ini diturunkan untuk menguji dan membedakan antara ahlul haq dengan ahlul bathil, antara ahlul makrifat dengan ahlul syahwat. Itulah fungsi alquran sebagai pembeda (al-furqan). Kalau kelezatan duniawiyah yang juga merupakan ayat-ayat Allah telah banyak menguji ahlu dunya yang nafsunya dipenuhi dengan syahwat, maka ayat-ayat mutasyabihat akan menguji ahlul qur'an yang hatinya dipenuhi dengan syubhat.
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
"Maka adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan pada kesesatan maka mereka akan mengikuti kemutsyabihatannya (kesamaran) karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya." (Ali-Imran:7)
Ayat mutasyabihat adalah lawan daripada ayat muhkamat. Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas makna dan dilalahnya, tidak ada kesamaran sedikitpun bagi tiap-tiap orang yang membacanya. Seperti ayat:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
"Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Satu tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (albaqarah: 163)
Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang samar makna dan dilalahnya bagi kebanyakan orang atau bagi sebagian orang. Seperti:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
"Maka kemanapun kamu menghadap di situlah kamu mendapati wajah Allah"(Al-Baqarah: 115)
Maka ayat muhkamat disebut dengan ummul quran karena berfungsi sebagai induk, yaitu asal dan tempat kembali ketika terjadi kesamaran, juga karena dengan ayat-ayat muhkamat yang jelaslah umat Islam berpijak dan berpedoman untuk membangun dasar-dasar aqidahnya, bukan dengan ayat-ayat mutasyabihat yang samar. Kesamaran itu muncul karena ada sesuatu yang lain yang menyerupai. Seperti ketika terjadi kesamaran dalam menafsirkan ayat:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
"Allah berkata: Wahai Iblis apa yang menghalangi kamu untuk sujud kepada apa yang telah aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?"( shad: 71)
Apakah ditafsirkan tangan Allah secara hakiki atau majazi? Kalau kita artikan tangan secara hakiki, maka akan ada kesamaran antara Allah bertangan seperti halnya makhluk bertangan. Nah orang-orang yang di hatinya ada kecondongan pada kesesatan (gemar mengikuti makna-makna yang rancu) akan memilih untuk mengikuti makna samarnya (tasyabaha) daripada menyerahkan tafsir ayat itu kepada Allah atau menafsirkan dengan tafsiran yang layak bagi Allah, ini hanya bisa dicapai dengan takwil yang shohih. Maka mereka yang mengikuti kesamaran ayat-ayat mutasyabihat inilah yang disebut Allah dengan:.
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ
"Maka mereka mengikuti kemutasyabihatannya (kesamarannya)" (Ali Imran: 7)
Gak tahu tujuannya apa? Kok gemar sekali terhadap hal-hal yang pelik, sebab terus berkutat pada ketidakjelasan makna di dalam kesamaran dua hal adalah sesuatu hal yang rumit. Tabiat manusia yang sehat tentu akan merasa selesa dan ingin rehat untuk keluar dari kondisi seperti ini. Cobalah anda bayangkan, tenangkah jiwa anda jika anda harus mengartikan ayat tersebut dengan tangan Allah, tetapi di saat yang bersamaan anda takut menyamakannya dengan tangan makhluk hingga kemudian anda memaksakan diri untuk menambahkan kalimat "tidak sama dengan tangan makhluk"?. Sementara di otak anda yang punya tangan itu hanya makhluk. Jadi anda ingin mengatakan tangan tapi sebenarnya bukan tangan. Suatu hal yang membingungkan. Inilah yang disebut dengan takwil yang khothi' . Takwil yang tidak sesuai dengan kehendak Allah karena takwil yang tidak layak bagi Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah::
ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
"…karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya" (Ali Imran: 7)
Yaitu berusaha memalingkan makna dari makna yang dikehendaki Allah kepada makna yang tidak dikehendaki Allah, maksudnya memalingkan makna yang layak bagi Allah kepada makna yang tidak layak bagi Allah. Tentu saja ini akan menimbulkan fitnah besar, yaitu menjebak orang ke dalam penyamaan Allah terhadap makhluk (tasybih).
Orang-orang yang hatinya bersih dari kecondongan terhadap kesesatan tentu akan mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat: Di sinilah saatnya kita menerapkan ayat-ayat muhkamat itu sebagai ummul qur'an. Maka kasus di atas harus kita kembalikan kepada ayat muhkamat berikut:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak serupa dengan-Nya segala sesuatu dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat" (Asy-Syura: 11)
Mafhum dari ayat Asy-Syura di atas adalah Allah tidak sama dengan apapun dalam bentuk apapun, termasuk Allah tidak bersusun (at-tarkib) atau berbahagi-bahagi atas anggota tubuh (al-juzu') karena ini adalah sifat makhluk. Maka haruslah kita berpindah dari ayat yang mafhumnya mengatakan Allah bertarkib dan berjuzu' kepada ayat yang mafhumnya mengatakan Allah tidak bertarkib dan berjuzu'. Apakah kita akan meninggalkan ayat Shad di atas? Tentu tidak, jika kita tinggalkan secara total demi untuk menafikan sifat tarkib & juzu' daripada Allah maka kita akan terjatuh ke dalam jurang ta'thilnya orang-orang mu'athilah yang membuang sifat-sifat Allah. Dan sebaliknya jangan pula demi terlalunya untuk mengitsbatkan sifat Allah maka kita terjebak dalam perangkap tasybihnya orang-orang mujassimah. Tapi jalan yang paling baik adalah di tengah-tengah (khoirul umur aushothuha), yaitu kita tidak menafikan sifat-sifat Allah dan tidak pula mengitsbat secara ghuluw sifat-sifat Allah hingga menyerupakan-Nya kepada makhluk, dengan kata lain kita mengitsbatkan sifat-sifat Allah sebagaimana Allah telah menyifati diri-Nya tetapi dengan catatan: sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan layak bagi Allah, artinya kita menempatkan ayat-ayat sifat sebagaimana mestinya dan layaknya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah manhaj yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, tidak menta'thil sebagaimana kaum mu'athilah dan tidak mentasybih sebagaimana kaum mujassimah.
Untuk menerapkan manhaj ahlus sunnah tersebut, salaf daripada sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in radhiyallahu anhum mempunyai dua metode dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat:
Pertama, mayoritas salaf lebih memilih untuk menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala , inilah yang disebut dengan tafwidh karena:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
"Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah" (Ali Imran:7)
Kenapa takwil, bukan makna? Karena maksud takwil di situ adalah makna, yaitu makna yang layak bagi Allah (tentulah ini hanya Allah saja yang tahu).
Kedua, golongan salaf yang lebih memilih untuk menafsirkan . Walaupun Allah saja yang tahu, namun tidak tertutup peluang Allah memberitahukannya kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana di antara mereka ada yang tajam bashirohnya, bersih fitrahnya, cerdas akalnya, baligh lughahnya dan kuat mujahadahnya hingga Allah memberikan mereka kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan pertolongan dan nur makrifat yang dibagikan faham oleh Allah.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
"Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya" (Ali Imran: 7)
Orang-orang yang rusukh ilmunya mampu tahu akan makna ayat-ayat mutasyabihat karena Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk memahami makna yang layak bagi Allah, memahami makna yang dikehendaki Allah. Mereka diberi petunjuk oleh Allah untuk mentela'ah takwilnya, bukan mencari makna zhohirnya, sebab Allah tahu jika yang dicari adalah makna zhohirnya maka akan menyebabkan manusia jatuh kepada perangkap tasybih. Itulah sebabnya kenapa ayat menggunakan lafazh takwil, bukan tafsir, bukan:
وَمَا يَعْلَمُ تَفسيرهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
"Dan tidak ada yang tahu tafsirnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya..."
Sebab tafsir belum tentu takwil tetapi takwil sudah pasti bagian daripada tafsir. Kalau alquran menggunakan lafazh tafsir maka akan terbuka peluang bagi manusia untuk mengartikan ayat-ayat mutasyabihat secara zhohir, itulah sebabnya kenapa alquran mengkhususkan menggunakan lafazh takwil; untuk menutup peluang kepada manusia daripada mencari arti ayat mustasyabihat secara zhohir. Maka penggunaan lafazh takwil pada ayat tersebut adalah sudah merupakan isyarat langsung dari Allah kepada orang-orang yang rusukh ilmunya untuk mencari takwilnya, bukan mencari tafsirnya secara umum yang mencakup makna zhohir. Itulah sebabnya takwil juga merupakan bagian daripada tafsir untuk memilah dan memilih makna yang sebenar daripada lafazh-lafazh yang udzur diartikan secara zhohir. Ini telah maklum dalam ilmu tafsir.
Namun kedua-dua golongan di atas bersepakat untuk mengimani ayat-ayat mutasyabihat, artinya meyakini dan memahami kandungan makna yang ada pada ayat-ayat tersebut sebagaimana yang Allah kehendaki sebagai Pemilik ayat.
يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
"…mereka berkata kami beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat; semuanya itu adalah dari Tuhan kita" (Ali Imran:7)
"Semuanya itu adalah dari Tuhan kita" adalah ta'bir (ungkapan) bahwa kita memahaminya sebagaimana yang Allah pahami dan kehendaki. Nah di sinilah repotnya, bagaimana 'pemahaman' dan kehendak Allah itu? Apakah bisa kita memahami sebagaimana yang dipahami dan diinginkan Allah? Jawabannya tentu saja bisa, sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk membagikan faham kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. Kemudian orang-orang yang sudah dibagikan faham tersebut juga memberitahukannya kepada murid-muridnya dan murid-muridnya ini memberitahukan kepada yang lainnya dan begitu seterusnya. Dan tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang pertama yang diberikan faham tentang tafsir ayat-ayat mutasyabihat dan tidak tertutup kemungkinan Rasulullah juga memberitahukannya kepada para sahabatnya, di antaranya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Ibnu Abbas adalah sahabat yang terkenal keahliannya dalam tafsir dan takwil. Ibnu Abbas lah yang telah yang mentakwil ayat Allah:
ويبقى وجه ربك (dan kekallah wajah Tuhanmu: Ar-Rahman:27) kepada ويبقى الله (kekallah Allah)
Wajah Allah ditakwilkan kepada Allah. Inilah takwilan yang benar, yaitu takwilan yang sesuai dan layak bagi Allah. Kalau seandainya wajah di situ kita takwilkan dengan muka Allah, maka ini adalah takwil yang fasid, inilah takwil yang diharamkan itu,, takwil yang tidak layak bagi Allah, kenapa ada takwil yang layak bagi Allah tapi justru kita berpindah kepada takwil yang tidak layak bagi Allah?! Pentakwilan yang rusak seperti ini disebabkan:
ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
"Mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwil"(Ali Imran: 7)
Cobalah toh jika kita memaksakan diri untuk mengartikannya kepada muka Allah, maka kaki Allah akan hancur, tangan Allah akan hancur, betis Allah akan hancur dan semuanya akan hancur kecuali muka-Nya, karena Allah berfirman:
كل شئ هالك إلا وجهه
"Segala sesuatunya akan hancur kecuali muka Allah" (Al-Qashash:88)
Ibnu Abbas telah menyelamatkan kekeliruan banyak orang daripada aqidah yang sesat dengan pentakwilan beliau yang shohih tersebut. Itulah sebabnya masih pada ayat yang sama kenapa Allah memberikan nilai plus dengan memuji hamba-hamba-Nya yang memiliki kemampuan seperti Ibnu Abbas dengan firman-Nya:
. وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"Dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali para ulul albab"(Ali Imran: 7)
Ulul albab itu adalah orang-orang yang hidup ilmu hatinya. Lalu kenapa sahabat-sahabat yang lainnya tidak terdengar dari mereka telah mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dan memilih untuk diam, mengimani saja dan hingga kita katakan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Apakah mereka tidak tahu maknanya? Eits…tunggu dulu, belum tentu diam, mereka tidak tahu, sebagaimana anda diam belum tentu anda tidak tahu. Ayat-ayat mutasyabihat ini adalah ayat-ayat yang penuh dengan rahasia Allah. Tidak mesti dipahami lewat akal dan diucapkan lewat lisan, namun hanya mampu dipahami lewat hati (al-qulub) dan berpindah dari hati ke hati. Mungkin ini yang menyebabkan mereka diam. Ditambah lagi memang di waktu itu belum ada sebab yang mendorong para sahabat untuk membeberkan makna ayat-ayat mutasyabihat. Toh mereka semua fitrahnya masih salim, lughahnya masih fashih dan akalnya masih baligh. Mereka faham betul setiap ayat yang diucapkan dari lisan Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam yang suci dan menyerap betul ilmu yang dituangkan dari dada beliau yang thohur ke dalam dada-dada mereka yang thohir walaupun tanpa harus diungkapkan dan diobral maknanya lewat lisan..
So mustahillah ada ayat alquran yang tidak dipahami oleh makhluk-Nya. Sebab alquran adalah kitab yang jelas ayat-ayatnya.
So mustahillah ada ayat alquran yang tidak dipahami oleh makhluk-Nya. Sebab alquran adalah kitab yang jelas ayat-ayatnya.
تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ
"Itulah kitab yang jelas ayat-ayatnya" (Al-Qashash: 2)
Jelas bagi orang-orang yang rusukh ilmunya, bagi orang-orang yang diberikan faham, bagi orang-orang yang shofa' qulubnya, yang senantiasa hadhir dalam hadhrah nubuwwah, tiada hijab antara hatinya dengan syuhud robbaniyah hingga waridat-waridat ilahiyah Ta'ala turun ke dalam hatinya, ulumul laduniyah menghiasi nuraninya dan mawahib laduniyah terus tercurah ke dalam ruhiyahnya, itulah di antaranya adalah kewudhuhan makna ayat-ayat muhkamat dan kezhuhuran makna ayat-ayat mutasyabihat yang terkadang tidak tertangkap oleh madarikul 'uqul. Itulah sebabnya Allah menyuruh kita untuk membacanya saja, adapun fahamannya nanti bahagian Allah yang bagi tahu.
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
" Apabila Kami membacanya maka ikutilah bacaannya. Kemudian bahagian kamilah nanti yang akan berikan penjelasannya." (Al-Qiyamah: 18-19)
Adapun kita yang masih awam ini, jika hati penuh syubhat dan nafsu penuh dengan syahwat dan khusumat. Jauh dari hadhrah ilahiyah dan nubuwwah, tak pernah mentazkiyah nafsiyah dengan mujahadah qalbiyah, bagaimanalah bisa mendapatkan mawarid-mawarid faham dari Allah dan madad nubuwwah dari Rasulullah shallallahi alaihi wa sallam. Jangankan ayat-ayat mutasyabihat, ayat-ayat yang muhkamat sajapun kita tak akan diberi faham. Sehingga seluruh ayat-ayat Allah tak ada yang kita faham. Wal 'iyadzubillah…
Depan Pemakaman Sahabat di Baqi' tahun 1322 H |
Wallahu a'lam
Kairo, 21 Maret 2011, 2:42 am
Al-faqir ila afwi Rabbih
M. Haris F. Lubis
0 Response to "Kenapa Sahabat Tidak Meributkan Ayat-Ayat Mutasyabihat?"
Post a Comment