Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah (Allah Maha Suci Dari Tempat, Bentuk Dan Ukuran (Al-Hadd)[1])

Mesjid Al Azhar Kairo Mesir
Oleh: Syekh Salim Alwan al Hasani dan Syekh Fawwaz ‘Abboud hafizhahumallah di acara Daurah Ilmiyyah “Bedah Wacana Teologi Sunni”  di Aula Serbaguna Jurusan Ilmu Agama Islam, FIS-Universitas Negeri Jakarta (UNJ)  tanggal 15-16 April 2004, kerjasama Pusat Kajian Islam SYAHAMAH dengan IAI, FIS-UNJ Jakarta. 

ALLAH ADA TANPA TEMPAT


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
  
Tidak  serupa dengan-Nya segala sesuatu dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat" (Asy-Syura: 11)

            Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;

  1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
  2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
            Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda lathif atau benda katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan sesuatupun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كان الله ولم يكن شيء غيره (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud)

            Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.

            Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma’ wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أنت الظاهر فليس فوقك شىء وأنت الباطن فليس دونك شىء (رواه مسلم وغيره)

Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuau dibawah-Mu”  (H.R. Muslim dan lainnya). 


            Adapun salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits jariyah yang maknanya shahih adalah:

روى الإمام مالك والإمام أحمد أن رجلا من الأنصار جاء بأمة سوداء وقال : يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة أعتقتها ، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أتشهدين أن لا إله إلا الله قالت : نعم ، قال : أتشهدين أنّي رسول الله ؟ قالت : نعم ، قال : أتؤمنين بالبعث بعد الموت ؟ قالت : نعم ، قال : أعتقها .

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: Ya, Rasulullah berkata kepadanya: apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: Ya, kemudian Rasulullah berkata: apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian ? ia menjawab : Ya, kemudian Rasulullah berkata: merdekakanlah dia. Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat ini adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat Syahadat bukan yang lain.

            Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib semoga Allah  meridlainya:

قال سيدنا علي رضي الله عنه : “كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان” (رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق / ص : 333)

Maknanya: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat” (dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farqu bayna al Firaq hal. 333).

            Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rani (W. 973 H.) dalam kitabnya al Yawaqiit wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.

وقال سيدنا علي رضي الله عنه : “إن الله خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته” (رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق / ص : 333)

al Imam Ali semoga Allah meridhainya mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaannya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farqu bayna al Firaq, hal. 333)

 وقال سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف” (رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)

Sayyidina Ali semoga Allah meridlainya juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yangmenciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata:

إن الله لا مكان له

 ”Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ wa as-Shifat)[2].



ALLAH MAHA SUCI DARI HADD


 المحدود عند علماء التوحيد ما له حجم صغيرا كان أو كبيرا والحد عندهم هو الحجم إن كان صغيرا وإن كان كبيرا الذرة محدودة والعرش محدود والنور والظلام والريح كل محدود

Mustahil Allah berdimensi
Menurut ulama Tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga ‘arsy, cahaya, kegelapan dan angin  masing-masing mempunyai ukuran.

 قال الإمام علي رضي الله عنه : ” من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المحدود” (رواه أبو نعيم)

Al Imam Sayyidina Ali semoga Allah meridlainya berkata yang maknanya: “Barangsiapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym [W. 430 H] dalam Hilyah al Auliya, juz I hal. 72).

Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran.

       Semua bentuk baik lathif maupun katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Adapun Allah bukanlah merupakan benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruangan kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.

 قال الإمام علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب المعروف بزين العابدين : “أنت الله الذي لايحويك مكان”، وقال:          ”أنت الله الذي لاتحد فتكون محدودا” وقال : “سبحانك لاتحس ولاتجس ولاتمس”  (رواه الحافظ الزبيدي)

Al Imam As-sajjad Zayn al Abidin  Ali ibn Al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib  (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat, dan  dia berkata : “Engkaulah Allah yang Maha  suci dari hadd (benda, bentuk dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh  sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda . Allah maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua rawinya adalah ahl al Bayt, keturunan Rasulullah).

            Al Imam Abu Hanifah  semoga Allah meridainya berkata :

قال الإمام أبو حنيفة t : “من قال لا أعرف ربي أفي السماء هو أم في الأرض فقد كفر” رواه الماتريدي

Barangsiapa  mengatakan  saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir“. (Diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya ). Al Imam Syekh al ‘Izz ibn ‘Abd As-salam  asy-Syafi’i  dalam kitabnya Hall ar-Rumuz menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah beliau mengatakan : karena perkataan ini (penjelasan dari Agan: sampai2 dia bingung apakah Allah di langit atau di bumi maka dia kafir, karena Allah tidak dilangit dan tidak di bumi) memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat dan barangsiapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Demikian juga dijelaskan maksud Abu Hanifah ini oleh al-Bayyadli al-Hanafi dalam Isyaraat al-Maraam.

Al Imam al Hafizh ibn al Jawzi (W.597 H.) mengatakan dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih :

“إن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق”

Maknanya:  “Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya) dan Mujassim (orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim: benda), yang tidak mengetahui sifat Allah”.

Al Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (W . 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan :

إن المشبهة المجسمة لله تعا لى هم الذين وصفوا الله با لمكان والله منـزه عنه “

Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat “

Di dalam kitab Al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, hlm. 259 tertulis sebagai berikut: “Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah taala “

قال الإمام أبو حنيفة  رضي الله عنه في كتابه الوصية: “ولقاء الله تعالى لأهل الجنة حق بلا كيفية ولا تشبيه ولا جهة”

Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya –dalam kitabnya al Washiyyah berkata maknanya : “Bahwa penduduk surga melihat Allah ta’ala adalah perkara yang haqq (pasti terjadi), tanpa (Allah) disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa (Allah) berada di suatu arah

Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta’ala dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah.

قال الإمام مالك رضي الله عنه :  “الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع .”  (رواه البيهقي في الأ سماء والصفات )

Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata : “Ar-Rahman ‘ala al-’Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat(hakekat)-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan kayfa (sifat-sifat makhluk) adalah mustahil bagi-Nya” (diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ wa ash-Shifat). Maksud perkataan al Imam Malik tersebut bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya.

Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al kayf  Majhul adalah tidak benar dan al Imam Malik tidak pernah mengatakannya.

قال الامام الشافعي رضي الله عنه :”من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن إلى موجود واعترف بل العجز عن إدراكه فهو موحد “(رواه البيهقي وغيره)

Tulisan "Allah" hanya simbol
Al Imam as Syafi’i - semoga  Allah  meridlainya –berkata: “Barangsiapa yang berusaha untuk mengetahui pengaturnya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah) muslim“  (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)

قال الإمام أحمد بن حنبل والإمام ثوبان ابن إبراهيم ذو النو ن المصري رضي الله عنهما : “مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك ” (رواه عن الإمام أحمد أبو الفضل التميمي ورواه  عن ذي النو ن المصري الخطيب البغدادي )

Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata: “Apapun yang terlintas dalam benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang terlintas dalam benak)” (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi). Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W.974 H) dalam al Minhaj al Qawim h.64, mengatakan :”Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan  Abu Hanifah semoga Allah meridlai mereka mengenai pengkafiran mereka terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”. Al Imam Ahmad Ibn Hanbal –semoga Allah meridlainya- mengatakan : “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab Al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

 قال الإمام أبو جعفر الطحاوي t المولود سنة 227 والمتوفى سنة 321 هـ : “تعالى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات”

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi semoga Allah meridlainya (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut“.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

           Diambil dalil dari perkataan tersebut, bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj  bahwa Allah berada di arah atas lalu nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wasallam di saat mi’raj adalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah semoga Allah meridlainya, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibn ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.

           Adapun ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdo’a dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi  (W. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.

           Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan :

ومن وصف الله يمعتى من معاني البشر فقد كفر

Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir“.

Diantara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik,duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa arab atau bahasa-bahasa selain bahasa arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran.



[1] Makalah ini disampaikan dalam bahasa Arab oleh Syekh Salim Alwan al Hasani dan Syekh Fawwaz ‘Abboud di acara Daurah Ilmiyyah “Bedah Wacana Teologi Sunni”  di Aula Serbaguna Jurusan Ilmu Agama Islam, FIS-Universitas Negeri Jakarta (UNJ)  tanggal 15-16 April 2004, kerjasama Pusat Kajian Islam SYAHAMAH dengan IAI, FIS-UNJ Jakarta. 
[2] Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah (Allah Maha Suci Dari Tempat, Bentuk Dan Ukuran (Al-Hadd)[1])"

Post a Comment