Revolusi Sosial Timur Tengah; Suatu Indikasi Kebangkitan Nasionalisme Arab atau Pan Islam?
Revolusi Rakyat Mesir |
Oleh: Muhammad Nurdin
Revolusi sosial yang dilancarkan bangsa Arab untuk menggulingkan rezim-rezim otoriter dukungan Amerika Serikat dan sekutunya di berbagai negara kawasan Timur Tengah merupakan suatu refleksi dari tumbuh berkembangnya kesadaran bangsa Arab yang selama ini tercabik-cabik oleh rekayasa Washington dan sekutunya dalam konteks melindungi kepentingan politik, ekonomi dan sosial budayanya di kawasan tersebut, seiring menjamin agar tetap eksisnya Zionis Israel, nasionalisme bangsa Arab mati suri menyusul berakhirnya perang dingin antara Blok Barat yang dipimpin Washington dan Blok Timur pimpinan Moskow sekitar tahun 1991, sehingga hanya Amerika Serikat sebagai pemain utama di Timur Tengah
Revolusi sosial yang dilancarkan bangsa Arab untuk menggulingkan rezim-rezim otoriter dukungan Amerika Serikat dan sekutunya di berbagai negara kawasan Timur Tengah merupakan suatu refleksi dari tumbuh berkembangnya kesadaran bangsa Arab yang selama ini tercabik-cabik oleh rekayasa Washington dan sekutunya dalam konteks melindungi kepentingan politik, ekonomi dan sosial budayanya di kawasan tersebut, seiring menjamin agar tetap eksisnya Zionis Israel, nasionalisme bangsa Arab mati suri menyusul berakhirnya perang dingin antara Blok Barat yang dipimpin Washington dan Blok Timur pimpinan Moskow sekitar tahun 1991, sehingga hanya Amerika Serikat sebagai pemain utama di Timur Tengah
Ketika sedang sengit-sengitnya perang dingin berlangsung, dan dukungan Kremlin terhadap perjuangan bangsa Arab dalam melawan Israil dukungan Gedung Putih dan sekutunya sangat kuat sehingga nasionalisme Arab pun relatif kuat. Bangsa Arab bisa mengabaikan buat sementara konflik-konflik internnya dampak dari menghadapi musuh bersamanya Israil. Namun setelah Uni Sovyet runtuh seiring berakhirnya perang dingin dan munculnya Amerika Serikat sebagai satu-satunya adi daya yang menata berbagai tatanan dunia baru selaras kepentingannya yang menyebabkan nasionalisme Arab lenyap bersaman munculnya kembali konflik konflik internnya sendiri. Hal itu dimulai sejak tahun 1978 ketika Presiden Anwar Sadat menandatangani perjanjian damai dengan Israil yang disutradarai Jimmy Carter, Presiden AS waktu itu. Kemudian Mesir dikucilkan dari dunia Arab beberapa waktu lamanya, namun negeri piramid tersebut terus menjalin hubungannya dengan Israil sekaligus menjadi negara Arab pertama yang mengakui keberadaan Israil yang ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik Cairo-Tel Aviv. Memang pembukaan hubungan diplomatik Mesir-Israil mendapat kecaman keras dan dengan serta merta semua negara Arab memutuskan hubungannya dengan Kairo. Bahkan akhirnya Anwar Sadat harus merelakan nyawanya sendiri dicabut paksa oleh beberapa timah panas yang keluar dari moncong senjata Kalashikov prajuritnya sendiri pada tanggal 6 Oktober 1981. Selanjutnya perjuangan rakyat Palestina dalam melawan Israil yang sebelumnya dianggap sebagai perjuangan bangsa Arab, secara bertahap berubah menjadi suatu perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina sendiri.
Dalam konteks itu, Amerika serikat terus memasok berbagai bantuan militer dan ekonomi kepada Husni Mubarak supaya tetap melanjutkan startegi politiknya tanpa terpengaruhi oleh pengucilan yang dilakukan oleh negara negara Arab lainnya terhadap Mesir. Sesuai kemauan AS, yang memasok bantuan ekonomi dan militer kepada negeri Pharao sejak tahun 1975 sekitar US$ 1,3 milyar tiap tahunnya terus menerus memberlakukan keadaan darurat, serta menindas dengan kejam setiap warga Mesir yang berseberangan politik dengannya sebagaimana pendahulunya Anwar Sadat dan Jamal Abdul Nasser menindak tegas serta melarang aspirasi poitik Ikhawanul Muslimin dan ribuan aktifisnya ditangkap dan dihukum mati. Dan belakangan menuduh organisasi muslim di negara-negara Arab terutama Ikhwanul Muslimin, Al Qaida, Gamiat Islam, Hamas, FIS , Gamiat Islam Jihad dan sebagainya yang berupaya memberlakukan syariat islam di negaranya masing-masing dituding oleh AS dan sekutunya sebagai muslim fundamentalis, ataupun bahkan dianggap teroris. Karenanya meskipun rezim-rezim otoriter Arab di Timur-Tengah selalu melanggar hak asasi manusia tetap direstui AS (Barat) sebab melindungi kepentingannya, tetapi akan segera menghancurkannya jika Negara-negara Arab dikuasai oleh yang dianggap AS dan sekutunya sebagai teroris atau muslim fundamentalis meskipun proses suksesinya demokratis. Sebagai contohnya saat FIS sudah memenagkan pemilu di Aljazair, tetapi kemudian dibatalkan oleh AS dan sekutunya atau HAMAS (al Harakat al Muqawwamah al Islamiyah) juga tidak diakui Barat meskipun secara gemilang berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilu di Palestina. Lalu AS dan sekutunya hanya mengakui al Fatah pimpinan Mahmud Abbas walaupun dikalahkan oleh Ismail Haniyah dalam pesta demokrasi pertama di Palestina tahun 2006 tersebut. Di Tunisia, Yordania, Bahrain, Kuwait, Arab Saudi, Yaman, Oman ,suatu negara Arab yang otoriter juga namun direstui AS dan sekutunya karena setia mengawal dan menjamin segala kepentingan mereka di Timur Tengah. Raja Abdullah melanjutkan hubungannya dengan Israil pasca Yordania membuka hubungan diplomatik dengan Israil pada masa Raja Husein berkuasa, sebagaimana hal serupa terjadi di rezim monarki Arab Saudi yang amat setia kepada kepentingan AS dan sekutunya. Dalam soal ini sempat dirilis oleh Wikileaks bahwa Arab Saudi menyarankan agar Washington menyerbu Iran, padahal proses suksesi di negeri mullah itu lebih demokratis daripada di Riyadh, Amman, Sana’a, Maskate, Manama dan Kuweit. Tetapi karena Mahmud Amadinejad selalu menentang dominasi AS dan Barat hingga negeri tersebut diembargo, diblokade, dan PBBpun dimamfaatkan untuk memaksa Iran supaya mematuhi kehendak AS dan sekutunya. Bahkan beberapa pakar nuklir Iran diculik di Arab Saudi oleh AS atas restu Riyadh, serta beberapa diantaranya tewas oleh serangan orang-orang bersenjata tak dikenal dan kononnya menurut Teheran dilakukan oleh agen-agen CIA atau Mossad.
Anwar Sadat & Husni Mubarak |
Dalam penyerbuan Iraq pimpinan AS, Arab Saudi, Yordania dan Mesir secara aktif mendukung secara langsung kampanye militer besar-besaran sekutu .Bahkan rejim otoriter Saudiah tersebut mengizinkan wilayah dan sumber daya alamnya yang melimpah itu bagi kepentingan pasukan koalisi dalam meluluh lantakkan bumi seribu satu malam tersebut, seperti yang dilakukan Yordania dengan memperketat kepungannya diperbatasannya dengan Iraq. Dan pasukan Mesir bahu membahu bersama koalisi pimpinan AS menyerbu Iraq, sehingga konflik-konflik intern sesama bangsa Arab yang mulai tumbuh dan berkembang kini semakin rentan akan perpecahan kembali jika pemimpin Arab terlambat memamfaatkan momentum yang sangat baik seperti sekarang ini. Gerakan revolusi sosial Timur Tengah yang terjalin secara spontan melalui jejaring sosial tersebut perlu secepatnya di tanggulangi dan dikelola dengan tepat guna supaya ke depan benih-benih kebangkitan nasionalisme Arab ataupun “Pan Islamisme” yang mulai tumbuh tidak dibelokkan oleh AS dan sekutunya kepada suatu proses adu domba antara Arab dengan Persia atau antara Sunni dan Syiah serupa halnya antara muslim moderat, muslim liberal dan muslim fundamentalis ataupun antara Nasionalis Arab dan Pan Islamisme. Dan masih terdapat juga “bom waktu” yang sudah lama tersimpan di berbagai garis perbatasan negara negara Arab yang bisa saja oleh kekuatan yang hendak memecah belah negara negara Arab akan membangkitkan hal tersebut. Atau proses perebutan pengaruh antara Mesir dan Arab Saudi di Timur Tengah bisa juga dijadikan faktor penyulut konflik baru dikawasan kaya tersebut, sehingga kawasan Timur Tengah tetap seperti puzzel- puzzel yang makin sulit disatukan secara utuh hingga meskipun rakyat berhasil menurunkan rejim otoriter ,tetapi tetap berada dibawah dominasi AS dan sekutunya .
Kemungkinan Gedung Putih memang sudah memprediksikan gerakan pro demokrasi (revolusi sosial) yang menuntut supaya rejim rejim diktator otoriter Timur Tengah lengser dari jabatannya, namun tidak mampu memprekirakan sebelumnya bahwa begitu cepat dan luas dampaknya, dalam dua bulan sudah dua rejim ororiter berhasil dilengserkan oleh gerakan reformis itu. Dan kini Libya sudah berada diujung tanduk, hanya menunggu saat-saatnya saja Kolonel Muhammad Gaddafi yang berkuasa sejak tahun 1969 menyusul kudeta militer terhadap dinsati Sanusi akan lengser juga. Yaman juga sedang kritis, Presiden Ali Abdullah Saleh sebagaimana halnya Raja Bahrain dan Maroko akan tergilas revolusi sosial Timur Tengah berikutnya. Jika proses transisinya berlarut larut bisa dipastikan diberbagai kawasan Timur Tengah tersebut akan terjadi tragedi kemanusiaan yang tidak bisa dibayangkan kemana arahnya yang akan mendongkrak harga minyak dan enerji lainnya kepada suatu harga yang tidak terkendali, yang sekarang saja harga minyak sudah mencapai US$ 120 dolar perbarelnya. Harga tersebut akan terus melambung tinggi, karena revolusi sosial justru terjadi di dekat sumber minyak dunia itu. Sekiranya hal tersebut terjadi, pasukan AS dan sekutunya bisa menduduki kawasan tersebut dengan dalih untuk mengamankan kawasan sumber energi dunia supaya tetap bisa berproduksi dengan baik, sehingga krisis secara global bisa dihindarkan.
Raja Abdul Aziz & Roosevelt 1945 |
Amerika Serikat dan sekutunya sangat khawatir sekiranya kawasan Timur Tengah kedepan dikuasai oleh organisasi organisasi muslim yang bisa memunculkan kembali persatuan muslim sedunia,yang orang orang Eropa namakan “Pan Islamisme” yang sebelumnya dikemukakan oleh Syekh Jamaluddin Al Afghany. Gerakan ini sangat ditakuti oleh kolonialisme dan imperialisme Barat waktu itu, sehingga mereka membangkitkan gerakan -gerakan nasionalisme Arab untuk melawan Turki Usmani yang menguasai Timur Tengah waktu itu. Pemerintah kolonialisme Inggris, Perancis, dan Italia mengkapling-kapling wilayah kekuasaan Tutki Usmani (setelah berakhir perang dunia I 1918) kedalam berbagai Negara-negara supaya kawasan Timur Tengah tidak menjadi suatu negara besar yang seiring dengan konsep persatuan dan kesatuan muslim yang dianjurkan oleh Al Afghany yang oleh Barat dinamakan sebagai Pan Islamisme. Karenanya Inggris lewat Lowrence Of Arabia mendorong perlawanan dinasti Saudiyah dukungan Wahabi untuk melawan Turki pendukung utama Al Afghany bersamaan membenturkannya dengan kerajaan Arabiah pimpinan Raja Husein yang berfaham Ahlusunnah Wal Jamaah (Sunni) yang mendirikan pusat pemerintahannya di Mekah pada tanggal 5 Maret 1924. Raja Abdul Aziz bin Saud berhasil mengalahkan putra Husein, Ali dan menguasai wilayah-wilayah Hijaz; Mekkah dan Medinah pada tahun 1925, dan sejak saat itulah Jazirah Arabiah dirubah namanya oleh Abdul Aziz bin Saud yang wahabisme itu menjadi Saudi Arabia, sebuah kerajaan yang disirikan tidak lepas dari hasil kongkow Emir Faisal-Chaim Weizmann, tokoh Freemasonry Zionsme untuk membantu Inggris melawan Turki Usmani pada perang dunia pertama (1914-1918) lalu keduanya selanjutnya memuluskan berdirinya Kerajaan Saudiah (Arab Saudi) dan membidani munculnya Israil setelah dikuatkan oleh Inggris dengan mengeluarkan Balfour Declaration. Bagi Inggris dan sekutunya sangat penting terhadap keberadaan negara Yahudi itu ditengah-tengah bangsa Arab untuk mengimbangi dan memangkas pengaruh gerakan Jamaludin Al Afghany tersebut. Strategi AS dan sekutuya di Timur Tengah sampai sekarangpun tidak berubah dari semula, yakni melindungi Israel bersamaan mengganjal munculnya persatuan dan kesatuan bangsa Arab yang muslim itu. Siapapun bisa berkuasa di kawasan Timur Tengah, meskipun secara diktator otoriter asalkan setia kepada AS dan sekutunya. AS dan sekutunya tidak pernah akan membiarkan kawasan Timur Tengah dikuasai oleh yang mereka anggap termasuk dalam muslim fundamentalis, semacam FIS atau Hamas, Taliban dan sejenisnya ,walaupun mereka memperoleh kekuasaannya melalui proses secara demokratis.
0 Response to "Revolusi Sosial Timur Tengah; Suatu Indikasi Kebangkitan Nasionalisme Arab atau Pan Islam?"
Post a Comment