Secangkir Kopi Pagi Ini & Tali

Secangkir kopi Pagi Ini & Tali.
By : Ega

Dear Ayah dan Emak
Yah, maafkan jika ini harus menjadi pilihan tersulit buat hidupku
Mak, biarlah ini menjadi cerita antara kita..
Tentang semua kebersamaan yang pernah aku rasakan
Aku cuma ingin bahagia untuk aku
Jika Ayah, Mak. Menganggap aku egois !
Ya..mungkin ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupku
Tapi aku ingin jadi wanita utuh. Mak, Ayah…
Aku titip secangkir kopi pagi ini buat Ayah.
Wassalam
Ais.


Seperti tak pernah habis aku memuji kepada Yang Maha Kuasa atas anugerah terindah yang aku dapatkan di lahirku, bosan aku mendengar setiap bertemu dengan siapa saja di kampungku, bahwa aku adalah bunga desa lah, aku gadis tercantik di kampung inilah..dan masih seabrek lagi kata-kata yang malah kadang bisa menakutkan aku tentang masa depanku..
Perkenalkan aku, namaku Siti Aisyah atau orang-orang di kampung lebih suka memanggil ku Ais..walau aku nggak ngerti mengapa mereka lebih menyukai panggilan nama tengahku daripada nama awalku.
Aku terlahir sebagai anak terakhir dari dua orang saudara laki-laki yang sudah menikah semuanya. Kebiasaan di kampung, mereka nggak perlu sekolah tinggi untuk bisa menanam dan merawat kebun kopi, yang penting sudah baliq dan sudah cocok untuk membangun masa depan sendiri, maka menikahlah mereka.
Dibesarkan dari keluarga sederhana yang mempunyai beberapa petak lahan yang bisa ditanami kopi, aku sudah sangat bahagia. Ayah dan Emak sangat sayang padaku. Di usiaku yang hampir 17 tahun, aku merasa dibedakan dengan gadis-gadis lainnya di kampung ini, kalau mereka sudah ada yang menikah dan bahkan teman-teman SD ku sudah ada yang memiliki lebih dari satu anak, aku masih diberi kesempatan oleh Ayah dan Emak untuk mengenyam pendidikan ku sampai SMU,
Sebagai Kampung penghasil kopi terbanyak di daerah sumatera utara ini, nggak etis kalau anak-anak gadis disini nggak bisa meracik kopi untuk dinikmati. Ya….begitulah rutinitas yang aku lakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, menyajikan satu cangkir besar kopi manis untuk Ayah tercinta sebelum Ayah berangkat ke ladang untuk menggarap lahannya.
Ayah paling suka kopi buatanku ntah kenapa itu, jika bukan aku yang menyuguhkannya setiap pagi, Ayah bakalan bermalas-malasan dan nggak mau berangkat ke ladang. Tapi aku sayang Ayah…karena Ayah aku merasa seperti gadis yang sangat sempurna.

##

Hari sabtu, nggak disangka kegiatan ekskul di sekolah menyita banyak waktu, namun aku senang berada dilingkungan sekolah, aku menyukainya walau terkadang bisa hampir magrib aku sampai dirumah setelah pulang sekolah. Tapi, aku tetap suka menjalankan rutinitas yang nggak biasa untuk anak perempuan di kampungku ini, niat tulusku menjalani ini semua hanya karena cita-cita. Aku ingin menjadi beda bukan biasa-biasa saja. Setelah tamat SMU aku ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, walau aku harus mencari uang sendiri nantinya.
Huh….sampi juga di rumah, aku perlambat kayuh pedal sepedaku menuju pekarangan, sambil menyandarkan kendaraan kesayangan ku, aku melihat beberapa tetangga yang terlihat sedang sibuk memasak dirumahku….
“loh ada hajatan ya di rumah, kog Emak nggak bilang-bilang, kan ais bisa pulang cepat untuk bantu Emak ?” sesampainya didepan Emak, langsung Emak kucerca dengan pertanyaan itu.
“kamu kan harus sekolah ais.” Jawab Emak sekenanya
“ ya…Ais kan bukan gadis manja Emak!” sambil berlalu menuju kamar untuk melepas seragam dan ikut nimbrung bantu-bantu dibelakang.

##

Malam yang ditunggu keluargaku datang begitu cepat. Semestinya aku nggak harusi kecewa, jika acara yang disembunyikan dariku adalah malapetaka untuk aku. Ayah, Emak, tetap bungkam saat ku tanya ada acara apa? Seperti pesta saja masaknya bayak sekali, ( dalam hati ku sendiri).
Tepat jam delapan malam datang satu keluarga yang tak ku kenal sama sekali, ya semuanya mengalir begitu saja,..dan intinya, aku..Siti Aisyah umur 16 tahun yang punya cita-cita berentet di otak akan dijodohkan oleh anak makelar kopi di kampung sebrang yang usianya 10 tahun diatas aku, Pria beranak dan beristri dua itu terpaksa dijodohkan dengan ku, tujuannya untuk melunasi hutang Ayah yang katanya mencapai 6 juta…
Ya Allah…..ini salah siapa?, seusai kedatangan tamu yang menurutku sangat-sangat nggak penting itu, aku masuk kedalam kamar, aku diam seribu bahasa..paras ku datar dan asam sekali saat aku melihat Ayah, Emak dan kedua Abang ku. Ketahuilah betapa runtuhnya perasaan ku sesaat itu juga, antara percaya dan tidak, semua yang kuanggap akan melindungiku ternyata sudah berniat ingin menggadaikan harga diriku. Ayah, Emak, begitu rapi merencanakan semua ini. Mereka menyekolahkan aku hingga lumayan tinggi supaya aku nggak malu jika disandingkan dengan orang kaya (menurut mereka).

##

Pagi ini aku lumpuh bersujud dihadapan yang maha kuasa meminta bantuan atas penatnya rasaku, namun tidak terbuka. Hari ini aku nggak berangkat kesekolah, buat apa aku capek mengayuh sepeda tiap hari jika akhirnya aku harus jatuh kedalam lubang yang sangat dalam menurut versi ku, setelah membuatkan kopi yang sangat manis untuk Ayah, aku menghambur bersama warga lain pergi ke ladang, mudah-mudahan hawa sejuk ladang kopi bisa membuat suasana baru dalam diriku. Kuhirup sangat dalam wangi buah kopi, dan kubiarkan semuanya terlewatkan hingga sore mulai merangkat di area perbukitan tempat dudukku sekarang ini.
Kini aku beralih dan beranjak menuju rumah yang sekarang aku anggap sebagai neraka duniaku, rumah..yang aku anggap jauh namun terasa dekat walau sudah sangat melambat gerak kakiku, tapi dalam hitungan menit sampai juga aku ditikungan yang bakal menuju di kediamanku, tak lupa aku berhenti sebentar ke warung untuk membeli sesuatu yang aku idam-idamkan dalam perenunganku hari ini.

##

Sampai aku dirumah tak ada sambutan, tak ada gelisah, yang ada malah sosok seorang Ayah yang dulu penuh dengan kasih sayang malah berubah jadi harimau pemangsa
“ kenapa anak perempuan keluyuran sampai jam segini, apa kata tetangga kalau melihat calon istri juragan..kayak perempuan nggak bener!”. Alangkah tersentak batinku mendengar ucap Ayah saat aku melintas didepannya, tanpa ku jawab, aku segera beralih pandang kearah Emak, yang terlihat lebih tegang dari biasanya.
Malam ini terjadi keributan di rumah ini, antara percaya dan tidak suasana yang tak pernah aku alami sebelumnya tapi malam ini terjadi. Sayup-sayup kudengar dari balik kamar ucapan Ayah yang sangat mengagetkan aku..
“jadi buat apa capek-capek kita pungut Ais, kita besarkan dia, kalo bukan buat membahagiakan kita”.
Ya allah ternyata ini….kenapa bisa begini, dimana orang tua kandungku..?..dan berbagai macam pertanyaan muncul sesaat itu juga..di otakku. didalam kamar yang malam ini sangat sempit kurasakan karena nggak ku syukuri, mugkin aku terlahir di dunia hanya akan membuat aku merasa tersiksa. batinku
Tapi kenapa nggak aku terima saja perkawinan itu, karena mungkin itu adalah cara aku membalas budi atas kerja keras mereka membesarkanku.
“ Ahhh….kembali semua itu bertentangan dalam otakku, aku tak rela” .

##

Malam semakin dingin menyergap tulang-tulang rapuh tubuhku, maklum daerah ini adalah perbukitan yang kawasannya dipenuhi dengan areal kopi milik warga termasuk milik Ayah. Denting waktu semakin mengiramakan harap-harap cemas pergulatan emosi di relungku, ku jaga mata ini agar tidak bisa terlepap, sudah berhelai kertas yang kutulis dan kurobek, untuk mengisyaratkan rasaku saat ini biar lebih tepat di khiaskan, hingga akhirnya ku lipat manis di atas meja kecil dan kuletakan bersama dengan vas bunga biar menarik perhatian.
Waktu menunjukan pukul 4 pagi, masih hening tanpa suara apapun tapi aku mencoba melangkahkan kaki menuju dapur untuk membuatkan kopi manis untuk Ayah, tak seperti biasanya aku menyuguhkan kopi sepagi ini, tapi aku ingin memberikan kesan terbaik buat orang yang sangat kusayang sebelumnya.
Setelah itu aku buru-buru masuk kembali kedalam kamar, agar tiada curiga di dalam sanubari mereka, surat dan kopi kujadikan satu ditempat biasa, di ruang tamu. Karena jika didalam kamar aku takut pesanku tak tersampaikan dengan segera.
Jam segini kampung masih sepi mungkin karena dinginnya daerah sini, mimpi masih akan selalu membuai tidur sampai suara adzan subuh menggema di langgar pinggir desa.
Kukaitkan sesuatu yang ku beli tadi sore di antara kayu kamar yang menyilang tanpa kesulitan apapun, sebuah tali rami kuat yang mungkin bisa membawa aku lari dalam masalah tanpa ada paksaan dari siapa pun. Ku ikat ujung tali itu sebesar leher dan kudekatkan kursi tepat diatasnya.
Ketahuilah seperti kesetanan aku naiki kursi dan kubenamkan leher penyanggah kepalaku di dalamnya…………………………
“Aaaakhhhhhhhhhgggggggggggggg………”.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Secangkir Kopi Pagi Ini & Tali"

Post a Comment