ONANI


ONANI
By : Ega
( Nb : just cerpen, bukan cerita jorok, dan inilah hidup yang sebenarnya, selamat membaca dan jangan lupa komentar setelah berimajinasi cukup lama )


Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti, 

Awalnya cerita kita begitu indah. Bertemu di bibir pantai di waktu pagi sehabis berlari. Beradu senyum, beradu pandang, jantung sama berdebar, tangan berjabat, tukar nomor hape,duduk diatas pasir, saling mengagumi, kau kagum dengan dadaku yang bidang, rambut hitam ikal, hidung mancung, mata tajam, sedang aku kagum dengan buah dadamu yang indah, rambut hitam lurus sebahu, hidung sejajar payudara, mata yang bulat, berbinar.
Langit mendung. Mungkin sebentar lagi hujan. Kita beranjak dari bibir pantai. Kita berdiri saling merapat. Beri salam pada matahari yang takut lalu lari dikejar awan, beri hormat pada pasir yang basah dengan percikan air laut yang asin, seasin air mani hasil onani semalam. Lalu sekali lagi kita saling beradu. Beradu senyum, beradu pandang dan aku kalah. Aku menunduk perlahan. Mengamati hidung, bibir, dagu, leher, dan tatapanku tertahan dipayudaramu. Dadaku bergemuruh. Air liur tertahan di tenggorokan. Dag, dig, dug. Gerimis turun, kau berlari kemobilmu, aku berlari kesepedaku. Sebuah senyuman dan lambaian tangan akhirnya memisahkan kita di pagi yang tak bersahabat itu.

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti, bercampur antara mulut, gigi dan gusi,

Awalnya cerita kita begitu indah. Pertemuan tadi pagi di bibir pantai berlanjut ke pertemuan malam di cafe. Suasana sudah berbeda. Lebih indah. Bibirmu sudah bergincu. Celana pendek dan kaos oblong berganti gaun malam sebahu berpadu dengan rok selutut. Aroma keringat berganti semerbak parfum yang wangi. Pertemuan pun lebih akrab. Kita kembali beradu. Beradu senyum, adu pandang, bahkan sudah adu pipi kanan dan pipi kiri. Beri hormat kepada pelayan, alunan musik jazz,jus alpukat di atas meja. Beri salam kepada sofa yang empuk, lampu yang remang, AC yang dingin, dan tentunya kepada mereka yang memandangi kita dengan takjub.
Alunan musik berganti instrument. Lembut, lembut, lembut. Minuman hampir habis. Tubuh kita kembali merapat seperti pagi tadi di pantai. Bahkan lebih rapat. Bedanya, tadi pagi merapat sambil berdiri, sekarang merapat sambil duduk di sofa. Malam melarut. Kita pun ikut larut. Larut dalam tatapan, senyuman, remasan jari, dan berakhir dengan ciuman. Larut, larut, larut. Mata mengatup, bibir bertaut. Lumayan lama, sampai akhirnya terpisah dengan mata sayu, nafas memburu, dada bergemuruh. Pelayan datang mendekat. ” Maaf mas. Kafe sebentar lagi tutup”. Kita melangkah pergi meninggalkan kafe dengan birahi yang tertunda. Kita kembali berpisah dengan senyuman dan lambaian tangan di depan rumahmu. Malam yang nyaris sempurna.

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti, bercampur antara mulut, gigi dan gusi waktu pagi,

Awalnya cerita kita begitu indah. Terus berlanjut. Meski kita bukan sepasang kekasih. Tak ada kata cinta. Tak ada komitmen. Kita hanya saling menyukai. Saling mengagumi. Aku tak pernah merayumu, begitu juga kau. Aku tak pernah mengajakmu menjadi kekasihku, begitu juga kau. Lalu hubungan apa ini? Entahlah. Aku tidak peduli. Kaupun tak ambil pusing. Aku tak ingin tau lebih jauh tentang kau. Dan kau pun tak pernah menanyaiku lebih jauh tentang siapa aku. Impas. Kosong-kosong. Seri!
Yang aku tau kau memiliki bibir yang indah, mata yang binar sedikit binal, hidung rata dengan buah dada, senyuman yang manis, mata yang bulat, payudara yang indah. Belakangan, aku pun perlahan mengetahui yang lainnya tanpa diberi tau. Pinggulmu ternyata juga indah, Aroma tubuhmu semerbak. Kedipan matamu menggoda. Ciumanmu membara. Kau sedikit manja. Sesekali merokok. Kau gadis yang anggun. Apa? GADIS? Entahlah. Aku belum tau. Lalu apa yang kau ketahui tentangku selain dada yang bidang, rambut hitam ikal, hidung mancung dan mata yang tajam? Entahlah. Itu tak penting. Ada yang lebih penting dari semuanya. Apa? Tentang birahi kita yang tertunda.

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti, bercampur antara mulut, gigi dan gusi waktu pagi sehabis onani,

Awalnya cerita kita begitu indah. Saat suatu malam setelah janjian, di sebuah wisma yang agak jauh di pinggir kota.
” Kenapa mesti ke sini? bukankah di kota banyak hotel yang lebih mewah?”. Kau diam.
” Kenapa pilih yang ini? Apakah tidak sebaiknya kita ke kafe sejenak seperti malam itu lalu beranjak ke diskotik, makan “play boy”, melantai, geleng-geleng, melayang, melayang, melaayaaang lalu diakhiri di sebuah hotel? kedengarannya sempurna bukan?”. Kau masih diam.
” Bukankah ini terlalu sederhana dan terkesan kuno? Di sini tak ada jus alpukat. Tak ada musik jazz.Tak ada instrument. Apalagi dentuman disko. Semuanya sederhana. Apa tidak sebaiknya kita pindah saja?”. Kau masih diam. Matamu menerawan ke langit-langit wisma. Aku mencoba menyentuhmu. Kau masih diam. Aku mendekapmu. Kau tetap diam. Lalu bibir kita bertaut dalam diam. Mata mengatup. Perlahan ada desahan. Nafas saling memburu. Keringat saling bercampur. Desahan semakin terdengar, berpaket dengan debaran dada, nafas yang semakin kencang dan tidak teratur, rintihan, erangan sebelum kita terkapar dalam diam. Tak ada lagi birahi yang tertunda malam itu. Semuanya usai,sebelum kita sama-sama terlelap. Saling mendekap.

***

Pagi menjemput. Guyuran air terdengar di kamar mandi. Akh, sepagi ini kau mandi? Tidakkah kau ingin menikmatinya sekali lagi? Tubuhku masih bugil di bawah balutan selimut. Secangkir kopi dan sepotong roti tersedia di atas meja. Perlahan aku bangun. Minum kopi tanpa cuci muka. Makan roti tanpa berkumur. Isap rokok tanpa sikat gigi. Kau kemudian keluar. Balutan handuk menutupi sebagian tubuhmu. Sebuah senyuman menyapaku. Senyum yang tidak kumengerti artinya.
Suasana pagi masih seperti semalam. Tak banyak kata terumbar. Cukup saling tatap dan menebak isi hati masing-masing. Setelah berpakaian, kau duduk disampingku. Ikut meminum kopi, ikut memakan roti, ikut mengisap rokok. Kemudian kau berdiri. ” Aku duluan. Nanti aku hubungi lagi ya?”. Sebuah kecupan di pipiku sebelum kau berlalu. Aku terdiam. Aku terheran. Hubungan macam apakah ini? Akh, sudahlah. Aku tak peduli. Lebih baik menghabiskan kopi. Menghabiskan roti. Lalu mandi. Membersihkan sisa birahi! .

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti bercampur antara mulut, gigi dan gusi waktu pagi sehabis onani ,setelah kau pilih untuk pergi,

Sejak kejadian di wisma itu, kami semakin sering bertemu. Tidak hanya di wisma, tetapi juga di kamar-kamar hotel. Tidak hanya di kafe, tetapi juga di diskotik. Hanya saja, kami tidak pernah lagi bertemu di pantai. Saat pagi, sehabis berlari. Kita lebih memilih bertemu di malam hari. Katanya suasananya lebih nyaman. Lagi pula pagi sampai sore kita sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku setuju, tak apa. Bagaimana bagusnya menurut kau. Lalu di mana kau kerja? Entahlah. Tidak penting! yang penting kita bisa saling berbagi. Berbagi selimut, berbagi malam, berbagi birahi.
Suatu malam, aku kembali mengajakmu untuk bertemu di hotel yang sering kita datangi sebelumnya. Aku pilih kamar kesukaanmu. Kamar 205 lantai 12. Dari jendela, kita bisa memandangi bulan dengan jelas ketika purnama. Kita bisa melihat kendaraan menyemut di bawah sana. Laut dengan pasir putihnya di seberang jalan.
Ting! pintu elevator terbuka. Aku masuk lalu memencet sebuah tombol. Elevatormeluncur ke atas. Suara tingotomatis berbunyi tiap pergantian lantai. Kembali suara ting berbunyi. Seorang lelaki seumuran ayah masuk bersama seorang gadis yang masih ranum. Tangan si Om erat di pinggang Gadisnya. Tubuh si Om tambun, rambut keriting sedikit beruban. Hidung besar dan bibirnya tebal. Sesekali si Gadis berbisik manja ke telinga si Om, lalu mereka cekikitan. Mereka lebih pantas sebagai ayah dan anak.
Ting! pintu elevator kembali terbuka. Saya sudah di lantai 4. Seorang perempuan masuk seumuran ibu. Bibirnya dipoles gincu menyala. Gaun hitam melekat di tubuhnya. Belahan dadanya terlihat jelas. Aroma semerbak melati memenuhi elevator. Si Tante begitu anggun.Lalu kemana lelakinya? Rasanya mustahil kalau dia tidak punya lelaki. Lalu ngapainmalam-malam begini ke sini? Sendiri pula lagi. Akh, mungkin lelakinya sudah menunggu di kamar.
Ting! lagi-lagi pintu elevator terbuka. Lantai 9. Si Om dan gadisnya keluar. Tangan si Om masih melekat di pinggang si Gadis. Mereka melesat pergi. Ting, pintu kembali tertutup. Tinggal aku dan si Tante di dalamnya. Elevator kembali meluncur ke atas. Aku mencuri-curi pandang kearah belahan dada si Tante. Payudaranya begitu memikat. Lebih indah dari payudara yang selama ini sering kuremas dan kuciumi. Celaka! rupanya si Tante tau jika aku memandangi payudaranya.
Si Tante menatapku. Aku sedikit salah tingkah. Si Tante tersenyum. Sebuah kerdipan mata kearahku. Aku menyambutnya dengan senyum pula. Suara ting kembali terdengar. Lantai 12. Aku keluar. Si Tante ikut keluar. Rupanya kami sama-sama mau ke lantai 12. Kami berjalan searah mencari kamar masing-masing. Mata kami kembali beradu. Senyum Tante merekah. Aku juga tentunya. Baru saja ingin berbasa-basi, tiba-tiba si Tante berhenti. Kamar 203. Aku memperlambat langkahku. Perlahan pintu terbuka. Aku melihat lelaki seumuranku, bahkan lebih muda. Si Tante nyelonong masuk. Pintu tertutup.
Hening. Hening. Hening…
Desah. Desah. Desaahh…
Eraang. Eraaannngg. Eraaaannngggg…
Kemudian kembali hening.

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti bercampur antara mulut, gigi dan gusi waktu pagi sehabis onani ,setelah kau pilih untuk pergi,bersama suami,

Aku hempaskan badanku di atas sprindbedyang empuk. Menatap langit-langit sambil membayangkan apa yang sedang dilakukan si Om dengan gadisnya, si Tante dengan Brondongnya. Mungkin tubuh lemak si Om sudah menindih tubuh gadisnya. Mendengus seperti babi. Atau jangan-jangan si Gadis yang berada di atas tubuh tambun itu? Sambil menari mengejar birahi? entahlah.
Lalu bagaimana dengan si Tante? Mungkin saja sedang asyik menyusui kelamin si Brondong. Atau si Brondong yang menyusui payudara si Tante sebelum kelamin mereka bersilaturahmi? Atau jangan-jangan mereka sudah terkulai lemah setelah mendaki bukit birahi. Hmm, entahlah.
Sebuah ketukan pelan membuatku tersadar. Aku bergegas membukanya. Benar saja. Yang kutunggu telah datang. Gaun cokelat muda dipadu dengan rok hitam selutut membuatnya tambah anggun malam itu. Bibir bergincu merah maron, dan aroma minyak wangi yang khas membuatku tak tahan lagi untuk segera bertamasya mengelilingi setiap lekuk tubuhnya.
Pintu tertutup. Lampu dipadamkan. Sekedar Tanya kabar, lalu saling meraba. Mulai cium pipi, lalu ke bibir. Terus kepayudara, lalu semakin turun. Turun dan turun. Kemudian kembali naik lewat jalur yang sebelumnya. Berhenti di payudara, lama di sana. nafas mulai terengah. Kembali kebibir. Saling mengulum. Keringat bercampur. desahan, rintihan, erangan bersama dilalui sebelum sampai di negeri tujuan. Ya, negeri impian. Nageri birahi.

***

Jam 08:48:39 pagi aku terbangun. Tak ada secangkir kopi. Tak ada sepotong roti. Tak ada gemercik air. Yang ada sisa birahi. Lalu ke mana kau? Secarik kertas terselip di samping cermin. Aku mengambilnya kemudianmembacanya.

” Setelah ini, mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi. Maaf! Aku baru mangatakannya kepadamu. Selama ini, suamiku ke Singapura. Dua hari yang lalu dia datang untuk menjemputku. Dia memutuskan untuk pindah ke sana. Katanya peluang bisnis di sana lebih menjanjikan. Tolong, jangan menghubungiku lagi. Anggap saja filmnya sudah selesai. Sudah ya? Aku buru-buru. Aku ikut penerbangan pertama hari ini. Trims atas waktu dan kebersamaannya” Sophie.

Aku memacu motorku kencang-kencang. Jarak bandara tidak terlalu jauh dari hotel itu. Hanya sekitar dua kilo meter. Jalan sedikit macet. Didepan lagi demo. Spanduk besar terpampang di sana. GANYANG MALAYSIA. Aku melambat. Aku menoleh kesamping. Diatas taksi seorang perempuan berambut hitam sebahu, hidung sejajar payudara, mata yang bulat, berbinar sedang menatap kearahku. Gaun cokelat muda masih dikenakannya. Sedang disampingnya duduk pria tambun seumuran ayah. Rambutnya keriting sedikit beruban. Hidung besar dan bibirnya tebal.
Arus jalan kembali lancar. Para pendemo sudah bubar meninggalkan bendera Malaysia yang terpanggang api. Perlahan taksi melaju. Si Gaun cokelat tersenyum kearahku. Lalu hilang terhalang kendaraan lain. Aku berhenti. Aku memutar kembali. Aku tak jadi ke bandara. Aku memilih pulang. Pulang dengan sisa birahi semalam yang melekat di badan. Motor melaju perlahan. Aku menyanyikan sebuah lagu ciptaan sendiri

Sebatang rokok, secangkir kopi, sepotong roti bercampur antara mulut, gigi dan gusi waktu pagi sehabis onani ,setelah kau pilih untuk pergi,memilih suami,meninggalkan aku sendiri, sebentar lagi aku kembali onani…onani…”





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ONANI"

Post a Comment